JATIM | gatradaily.com – Penegakan hukum di Indonesia semakin menjadi sorotan tajam karena berbagai kejanggalan yang terjadi dalam sistem peradilan. Salah satu permasalahan utama yang dikritisi oleh akademisi hukum adalah adanya kecenderungan monopoli kewenangan dalam sistem peradilan pidana.

Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan hukum yang seharusnya menjadi landasan utama dalam penegakan supremasi hukum.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya, Prof. Dr. Sadjijono, SH, MH, menyoroti ketidakseimbangan dalam proses peradilan, khususnya terkait peran Kejaksaan.

Ia menegaskan bahwa keadilan hukum tidak akan tercapai apabila terjadi monopoli kewenangan dalam sistem peradilan.

Salah satu contoh yang ia berikan adalah ketika jaksa menyatakan vonis atau keputusan hukum di luar persidangan. Menurutnya, hal tersebut masuk dalam ranah praperadilan dan berpotensi menimbulkan monopoli dalam kewenangan hukum. ujar Prof. Dr. Sadjijono.

Praktik semacam ini bisa melemahkan prinsip keadilan karena memberikan satu pihak kewenangan berlebihan dalam menentukan arah kasus hukum.

Dalam sistem peradilan pidana, setiap institusi memiliki peran yang saling melengkapi. Penyidik berperan dalam mencari dan mengumpulkan bukti, yang kemudian diserahkan kepada Kejaksaan untuk diproses lebih lanjut. tegasnya.

Namun, dalam praktiknya, sering kali terjadi situasi di mana Kejaksaan menolak hasil penyidikan dengan alasan yang tidak jelas, memaksa penyidik untuk melakukan proses ulang.

Prof. Sadjijono menegaskan bahwa praktik ini tidak sesuai dengan prinsip hukum yang ideal. Jika Kejaksaan terus-menerus menolak hasil penyidikan tanpa alasan yang kuat, hal ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum serta memperpanjang proses peradilan secara tidak perlu.

Asas Dominus Litis, yang memberikan kewenangan penuh kepada Kejaksaan dalam proses penuntutan, juga menjadi perhatian utama dalam kritik terhadap sistem hukum saat ini. Prof. Sadjijono menilai bahwa asas ini berpotensi disalahgunakan, terutama dalam bentuk penundaan atau penghentian proses peradilan tanpa alasan yang jelas.

Ia menegaskan bahwa peradilan pidana harus dipandang sebagai sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yang bekerja secara seimbang.

Kepolisian berperan dalam penyidikan, Kejaksaan menangani penuntutan, Pengadilan yang memutuskan perkara, dan Lembaga Pemasyarakatan (LP) sebagai eksekutor putusan.

Jika salah satu subsistem ini memiliki kewenangan yang terlalu besar, maka keseimbangan dalam sistem peradilan akan terganggu. pungkasnya. (*)