PASURUAN | gatradaily.com — Polemik penutupan paksa warkop karaoke di kawasan Ruko Meiko Pandaan Square, Kabupaten Pasuruan, terus bergulir.
Setelah pelaku usaha dan kuasa hukum menyampaikan protes, kini Ketua LSM LKPK, Dahniar Anisa, turut menyoroti langkah aparat dan pemerintah kecamatan yang dinilai tidak memiliki dasar hukum kuat.
Anis, sapaan akrabnya menegaskan, alasan penutupan yang disebut-sebut berangkat dari aspirasi sebagian warga, khususnya kelompok ibu-ibu yang mengkhawatirkan suami mereka “nyangkut” atau beraktivitas di tempat karaoke terdekat, tidak dapat dijadikan pijakan kebijakan publik.
“Kalau benar alasan penutupan adalah kecemasan ibu-ibu karena takut suaminya belanja atau dekat dengan LC, itu jelas bukan dasar hukum. Pemerintah tidak boleh membuat kebijakan karena tekanan emosional atau kekhawatiran personal,” ujar Anis, Selasa (2/12/25).
Menurutnya, persoalan moral, kecemburuan sosial, atau relasi dalam rumah tangga adalah ranah privat yang tidak bisa diintervensi dengan tindakan penutupan usaha.
Ia menyebut kekhawatiran semacam itu tidak rasional sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan.
“Kalau memang ada laki-laki yang punya kecenderungan seperti itu, mereka tetap bisa pergi ke tempat lain meskipun jauh. Contohnya Tretes. Ibu-ibu di sana tidak pernah ribut atau memaksa tempat hiburan ditutup, karena mereka percaya kepada pasangan masing-masing,” katanya.
Anis juga menilai bahwa generalisasi perilaku pria sebagai alasan pembatasan usaha hanya akan memunculkan stigma dan menimbulkan dampak sosial baru.
“Jangan sampai pemerintah justru membuat kebijakan berdasarkan persepsi moralistik. Negara harus hadir lewat aturan, bukan lewat asumsi,” tegasnya.
Ketua LKPK menilai, jika pemerintah memiliki kekhawatiran terkait penyalahgunaan izin atau praktik ilegal, semestinya dilakukan pemeriksaan, pembinaan, atau audit perizinan.
“Jika ada pelanggaran, buktikan. Lakukan pemeriksaan resmi dan temukan fakta di lapangan. Bukan menutup secara sepihak tanpa dokumen dan tanpa dasar hukum yang jelas,” ujarnya.
Menurut Anis, penutupan tanpa prosedur hanya akan menutup ruang dialog dan memperlebar konflik antara warga, pelaku usaha, dan pemerintah.
“Pendekatan yang tergesa-gesa hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikan,” tambahnya.
Anis juga menyinggung wilayah Tretes, Kecamatan Prigen, yang selama puluhan tahun dikenal sebagai kawasan wisata dengan banyak tempat hiburan malam.
Menurutnya, keberadaan tempat-tempat tersebut tidak menimbulkan gejolak serupa meski lokasinya jauh lebih besar dan lebih ramai.
“Di Tretes, ibu-ibu tidak protes. Mereka tidak ketakutan suaminya ke kafe atau karaoke. Yang penting mereka percaya dan menjaga hubungan di rumah. Dan yang lebih penting, keberadaan tempat hiburan justru menjadi penopang ekonomi setempat,” jelasnya.
Ia menambahkan, bila tempat hiburan di Tretes ditutup, warga justru akan kehilangan sumber pendapatan.
“Kalau Tretes ditutup, yang bingung justru warga karena ekonomi lokal bisa terguncang. Jadi harus cermat melihat konteks. Jangan sampai penutupan di Meiko hanya mengorbankan ekonomi kecil tanpa dasar yang kokoh,” ucapnya.
Anis meminta pemerintah kecamatan, desa, dan aparat keamanan meninjau ulang langkah penutupan warkop karaoke di Meiko Square.
Menurutnya, pemerintah harus mengedepankan asas profesionalitas, transparansi, dan kepastian hukum.
“Setiap tindakan pemerintah harus berdasar aturan, bukan tekanan, bukan rasa takut, dan bukan dugaan tanpa bukti. Kalau negara bertindak berdasarkan persepsi, maka hilanglah kepastian hukum,” katanya.
Ia mengimbau dialog terbuka antara pemerintah, pelaku usaha, dan warga agar persoalan tidak berkembang menjadi konflik horizontal.
Hingga kini, belum ada penjelasan resmi lanjutan dari pihak Kecamatan Pandaan maupun Kepala Desa Nogosari terkait dasar administratif penutupan tersebut.(ze/syn)
























Tinggalkan Balasan